Keharusan Konsistensi Paradigma Kehutanan

Avatar

Penulis :

YAYAT NURKHOLID

Mahasiswa S1 Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO, Aktivis Sylva Indonesia UHO, Caratecer HMI Komisariat Persiapan FHIL UHO, dan Sekretaris Umum HMI Komisariat FAPERTA UHO.

Negara Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang tak terbatas jumlahnya terdapat di Negara ini. Salah satunya adalah sumberdaya hutannya. Dari hal tersebut dapat membuktikan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di Dunia setelah Brazil.

Fakta tersebut menunjukan tingginya keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang dimiliki Indonesia. Namun Indonesia bukan merupakan Negara yang memiliki hutan terbesar di Dunia. Indonesia kini hanya menduduki urutan ke-9 Dunia setelah Argentina, dengan luas hutan 884.950 km2.

Dari luas hutan yang dimiliki Indonesia saat ini masih terus mengalami kerusakan sehingga setiap tahunnya luas hutan Indonesia terus berkurang. Berdasarkan catatan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, sedikitnya 1,1 juta hektar hutan Indonesia menyusut setiap tahunnya. Laporan Forest Watch Indonesia (FWI) pada tahun 2015 mengatakan bahwa kerusakan hutan Indonesia menjadi yang terparah di Dunia.

Pasalnya di tahun 2015 lalu Indonesia kembali mengulang sejarah buruk masa lalu ketika pada tahun 2000 Indonesia pernah mendapatkan predikat yang memalukan dari Guinness Book of World Records.

Sungguh ironis memang kondisi kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Angka deforetasi, degdradasi hutan hampir mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan kerusakan dan pengrusakan hutan melalui berbagai linik hampir tak terhindarkan setiap harinya. Dari kondisi itu berbagai macam dampak mulai bermunculan dan dirasakan langsung oleh manusia.

Seperti halnya banjir, tanah longsor, kekeringan, serta meningkatnya suhu udara yang dikarenakan menipisnya lapisan ozon tidak lain tidak bukan adalah dampak dari kerusakan hutan yang terjadi. Bagaimana tidak data membuktikan Indonesia menduduki urutan ke-enam Dunia dalam menghasilkan emisi karbon dengan jumlah 2,05 miliar ton sejak 1850 hingga 2011 lalu.

Sementara hutan yang dipercayakan mampu untuk menyerap karbon tersebut terus mengalami pengurangan setiap harinya.

 Kerusakan hutan di Indonesia dapat dikatakan oleh penulis bahwa tidak akan mampu untuk dihindarkan dan tidak bisa dipungkiri bahwa kerusakan hutan terjadi setiap hari. Sebabnya segala kepentingan manusia terdapat di dalamnya.

Namun sedikit harapan adalah bagaimana bisa meminimalisir kerusakan hutan yang akan terjadi. Banyak faktor yang melatar belakangi dan menyebabkan terjadinya kerusakan Hutan di Indonesia. Penulis menyebut bahwa faktor utama yang menyebabkan kerusakan hutan terus terjadi di Indonesia adalah akibat dari tidak konsistennya atau lemahnya penegak hukum di Indonesia.

Selain itu masyarakat luas serta stake holders tidak memiliki paradigma idealis dibidang kehutanan, sehingga karena kepentingan materi membuatnya melanggar dari peraturan yang telah ditetapkan. Adapun sedikit manusia yang masih memiliki idealisme akan terkalahkan oleh pragmatisme dengan tawaran materi yang memberikan jaminan.

Condohnya saja orang yang memiliki kapasitas untuk mengeluarkan izin terkait pembangunan perusahaan di dalam kawasan hutan lindung. Di dalam UU Kehutanan dinyatakan pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan mendirikan perusahaan atau penambangan terbuka (Pasal 38 ayat 4), namun realitanya bahwa banyak perusahaan pertambangan didirikan serta beroprasi didalam kawasan hutan lindung.

Kementrian kehutanan menemukan ada 150 perusahaan pemegang izin kuasa pertambangan (KP) yang proyeknya menyerempet dan masuk dalam kawasan hutan lindung, bahkan hasuk kawasan hutan konservasi. Gambaran tersebut cukuplah untuk membuktikan bahwa orang yang dipercayakan dan memiliki kapasistas dalam memberikan izin tidak lagi konsisten dengan tanggungjawabnya.

 Berbagai Undang-Undang, Peraturan, Kebijakan, Ketetapan, di susun dan ditetapkan namun tidak begitu berarti dalam upaya pencegahan kerusakan hutan di Indonesia. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa hukum dibuat untuk dilanggar.

Kasus demi kasus setiap tahunnya terus terjadi. pada tahun 2014-2015 lalu kementrian lingkungan hidup dan kehutanan mencatat ada 90 kasus pengrusakan hutan yang dipidana. Selain itu di tahun 2017 lalu ada 2000 pengaduan kasus yang diterima oleh gakkum KLHK, dan dibulan Mei 75 kasus telah selesai ditangani.

Dari data tersebut menunjukan bahwa supremasi hukum kehutanan di Indonesia belum sepenuhnya terlaksana secara konsisten, sehingga para pelanggar hukum tidak merasakan efek jera dalam melakukan aksi pelanggarannya.

Paradigma pengelolaan hutan lestari yang diharapkan tertanam secara konisten kepada orang-orang yang bergelut dibidang kehutanan kini hanya menjadi simbol kosong belaka. Perumusan pengelolaan hutan lestari yang tercantum di dalam UU Kehutanan No.41/1999, dimana pada bagian kedua “Asas dan Tujuan” di Pasal 2 menyebutkan “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatakan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan”, tidak lagi menjadi acuan.

Pengelolaan hutan yang terjadi saat ini adalah pengelolaan, pemanfaatan, pengerukan sumberdaya hutan yang hanya berprinsip kepada pendapatan ekonomi saja tanpa memperhatikan prinsip ekologi dan sosialnya. Salah satu contoh upaya pengelolaan sumberdaya yang menjadi faktor penyebab kerusakan hutan di Indonesia adalah banyaknya perusahaan yang didirikan namun tidak sesuai prosedur, tidak memenuhi syarat dan menabrak banyak aturan dan ketentuan perundang-undangan. Terdapat sekitar 5.587 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Minerba di Indonesia yang bermasalah.

Di Sultra sendiri salah satu masalah besar yaitu penambangan nikel yang dilakukan secara brutal oleh para investor serakah dan tidak bertanggungjawab. Seperti halnya pembangunan Kawasan Industri Terpadu Konawe di Morosi yang menabrak banyak aturan dan ketentuan perundang-undangan.

Pelanggaran para pemilik IUP bukan hanya pada soal pengrusakan lingkungan, tidak sedikit kegiatan penambangan di Sultra berlokasi di kawasan hutan (hutan lindung, Hutan konservasi, hutan produksi).

Itulah kondisi masalah terkait dampak, faktor dan penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Sumberdaya Alam terkhusus hutan merupakan salah satu media yang dapat menentukan masa depan Indonesia yang damai dan tentram tanpa adanya keresahan-keresahan didalam masyarakatnya. Hutan dapat menjamin bahwa hasil fisik manfaat lingkungan hutan tersedia untuk kesejahteraan umum masyarakat saat ini dan untuk sepanjang masa.

Oleh karena semua pihak harus menanamkan Konsistensi Paradigma Idealis untuk menjaga kelestarian hutan secara kolektif yang ada di Indonesia demi keberlanjutan  dan cita-cita untuk kehidupan anak cucu bangsa Indonesia.

Dalam hal ini pemerintah sebagai pimpinan tertinggi yang memiliki peran dan tanggung jawab kepada Negara diharapkan mampu untuk mereposisi kehutanan Indonesia menuju terlaksananya tata kelola kehutanan yang baik dan ramah lingkungan.

Harapan masyarakat kepada Pemerintah yaitu bagaimana pemerintah mampu mengatur sumberdaya hutan sebagai pemenuhan kebutuhan perekonomian dengan analisis dan penerapan kebijakan yang dapat menjaga prinsip ekologi dan sosial. Selain itu pemerintah juga diharapkan konsisten dengan hukum dan peraturan yang telah ditetapkan.

Karena sebagian besar permasalah kerusakan hutan di Indonesia berada ditangan para penegak hukum. Ketika hukum diterapkan sesuai ketetapan dan berjalan secara konsisten maka diyakini hutan Indonesia dapat diminimalisir dari kerusakan.

Selain pemerintah masyarakat juga diharapkan untuk memahami bagaimana pentingnya kondisi ekosistem hutan yang stabil tanpa kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Sebuah kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat bukanlah hanya dibutuhkan dihari ini, tetapi kebutuhan itu akan selalu muncul dihari-hari selanjutnya hingga anak cucu kita lahir akan memiliki kepentingan yang sama.

Olehnya itu masyarakat yang memiliki kepentingan dibidang kehutanan untuk memenuhi kebutuhannya harus memiliki paradigma yang dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat luas bahwa hutan adalah media yang menentukan kindisi masyarakat di masa depan.

Begitu juga dengan kaum pemuda intelektual dalam hal ini mahasiswa yang berstatus sebagai Rimbawan. Mahasiswa Kehutanan (Rimbawan) harus mampu memiliki kesadaran untuk bagaimana bersama-bersama menyatukan ideologi corsa demi menyelamatkan hutan dari kerusakan yang berkepanjangan. Sekian banyak wisudawan kehutanan setiap tahunnya belum memberikan dampak yang dirasakan langsung dalam upaya menyelesaikan permasalahan kerusakan hutan di Inodnesia. Oleh sebab melalui tulisan ini, penulis berharap kepada Rimbawan yang memiliki intelektual tinggi untuk memberikan sedikit kontribusi melalui pengetahuannya demi mempertahankan hutan Indonesia.(***)