Oleh: Cinthia Aristha, S.K.M
Belum lama ini Covid-19 dikabarkan dapat bermutasi dan berkembang lebih berbahaya dari sebelumnya sehingga memiliki varian baru. Varian tersebut dapat menyebar lebih mudah dibanding sebelumnya. Hal ini pula yang memyebabkan keresahan di masyarakat.
Merespon hal tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat tak khawatir dengan keberadaan mutasi virus corona B117 yang sudah terdeteksi masuk ke Indonesia. Ia mengklaim varian virus ini tak lebih berbahaya dari sebelumnya. Dia menyampaikan dua orang yang terpapar Covid-19 B117 kini sudah negatif. Selain itu, ia menyebut belum ada penelitian bahwa varian ini lebih mematikan dari virus corona awal (CNN Indonesia 04/03/2021).
Menurut dia, masyarakat cukup menjalankan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, memakai masker, hingga menjaga jarak. Jokowi berkata upaya itu akan dibarengi dengan percepatan vaksinasi. Diketahui, varian Virus Corona B117 dibawa dua warga Karawang, Jawa Barat, yang merupakan pekerja migran Indonesia.
Namun, hal lain disampaikan berbeda oleh Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman yang menyebut ancaman virus Corona B117 ini cukup serius.Menurutnya, virus Corona B117 lebih cepat menular ketimbang COVID-19 yang sudah lama menyebar di Indonesia. Tingkat kematiannya pun cukup tinggi (DetikNews 04/03/2021).
Sebab itu pula, himbauan yang dikeluarkan pemerintah tidak cukup untuk sekadar meredam keresahan dimasyarakat. Sampai saat ini masyarakat begitu sadar terhadap penanganan dan tindakan pemerintah terhadap kasus Covid-19 yang masih kurang efektif dan terkesan acuh tak acuh sehingga membuat angka positif terinfeksi di Indonesia tak kunjung menyusut, bahkan mengalami lonjakan. Lalu bagaimana dengan kasus Covid-19 varian baru yang dinilai lebih berbahaya tersebut?
Demokrasi, Varian Baru Virus, dan Tanggungjawab Negara
Tak mungkin ada asap bila tak ada api, begitu yang dapat menggambarkan kondisi yang terjadi di masyarakat. Pasalnya, meski sudah dihimbau untuk tidak khawatir terhadap varian baru virus Covid-19, masyarakat nampaknya tak bereaksi.
Hal tersebut wajar saja terjadi, sebagaimana data yang didapatkan bahwa varian virus Corona B117 disebut dapat meningkatkan kematian 64% lebih tinggi dibanding varian lama, yakni SARS-CoV-2.
Fakta itu terbukti dari hasil studi yang dilakukan oleh British Medical Journal pada 10 Maret 2021. Studi itu dipimpin oleh ahli permodelan dari University of Exeter, Robert Challen dan Epidemiolog asal University of Bristol, Leon Danon (Kompas.id, 12/03/2021).
Penelitian tersebut membandingkan tingkat kematian antara orang yang terinfeksi Covid-19 varian B.1.1.7 dan SARS-CoV-2. Para peneliti menemukan varian baru yakni B.1.1.7 menyebabkan 227 orang meninggal dari 54.906 pasien. jumlah ini lebih tinggi dibandingkan infeksi Covid-19 varian SARS-CoV-2 yang membuat 114 pasien meninggal.
Simpulan bahwa varian baru virus corona ini meningkatkan risiko kematian 32-104% atau rata-rata sekitar 64%. Dalam kelompok populasi yang dikaji, risiko kematian itu meningkat 2,5 menjadi 4,1 kematian setiap 1000 kasus.
Jika berkaca pada kasus sebelumnya, pada penanganan kasus positif Covid-19 saja masih nampak respon dan penanganan yang minim terjadi, lalu bagaimana menangani varian baru yang lebih berbahaya dan dan besar kemungkinan akan terjadi kasus yang lebih luas dimasyarakat.
Penanganan yang minim dan nihil perhatian dari pemerintah adalah salah satu bentuk pasti dari sistem Demokrasi-Kapitalisme. Sebab dari awal berdirinya, sistem yang berasaskan sekularisme ini tak pernah menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai orientasi, malah menakarnya dengan untung-rugi.
Sebagai bukti, diberitakan pada laman kompas.com, hingga Rabu (8/4/2020), total terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 2.956 kasus, dengan penambahan kasus baru dalam 24 jam terakhir, 218 kasus. Total yang dirawat 2.494, dan 240 di antaranya meninggal. Di mana persentase pasien Covid-19 meninggal 8,12 persen, ini jauh di atas rata-rata dunia yakni 5,67 persen.Di samping dari angka-angka, buruknya pelayanan kesehatan dipertegas sejumlah berita pilu berikut.
Fakta-fakta tersebut hanya sebagian kecil dari minimnya penanganan yang terjadi dilapangan yang seharusnya menjadi perhatian penuh pemerintah sebagai bentuk tanggungjawab negara kepada rakyatnya. Sayangnya, lagi-lagi bagai si pungguk merindukan bulan, hal tersebut tak akan menjadi kenyataan dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Asasnya yang sekuler, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat sehingga pengurusan hidup orang banyak diatur oleh sekelompok orang saja. Hasilnya, hanya penderitaan, kemiskinan, dan korban berjatuh menjadi hal yang dapat kita saksikan.
Itulah ironi demokrasi-kapitalisme, bukan tempat untuk ditinggali atau sekedar meminta pertanggungjawaban sebagaimana mestinya.
Islam Menjamin Kehidupan dan Kesejahteraan Manusia
Segenap pilu sudah kita rasakan dan sesekali menarik napas hanya untuk bersabar meminta kejelasan penanganan demi penyelesaian urusan pandemi. Maka dari itu, pantaslah kita bertanya apakah ada kesempatan lain untuk memperbaiki kondisi masa sekarang ini? Tentu saja ada, namun pastinya, solusi yang ada tak datang dari sistem yang sama, melainkan keluar daripada sistem tersebut.
Itulah Islam, bukan saja sebagai agama yang hanya mengatur kehidupan individu dalam perihal ibadah, namun juga mengatur tentang kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi, pendidikan, negara, termasuk kesehatan.
Islam memiliki aturan kesehatan yang dibangun di atas konsep dan paradigma shahih, di samping didukung oleh keseluruhan sistem kehidupan Islam berupa pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Hal ini pula yang menjadi kunci rahasia kekukuhannya sebagai pelindung.
Konsep Islam tentang pencegahan dan penanggulangan wabah sebagai bagian dari sistem kesehatan Islam mengharuskan pembatasan wabah di daerah asalnya (lockdown syar’i). Yakni, tanpa mengenal sekat negara bangsa dan otonomi daerah.Bahkan, bila ditelaah secara mendalam, konsep penguncian (lockdown) syar’i ini begitu selaras dengan karakter alamiah wabah dan upaya penanggulangannya.
Di sisi lain, konsep ini begitu manusiawi karena melindungi kesehatan dan kehidupan insan, di samping konsep kunci bagi pemutusan rantai penularan secara cepat. Sebab, bila hanya melakukan screening epidemiologi, contact tracing (penelusuran kontak), perawatan dengan menyertakan physical distancing, tetapi tidak melakukan penguncian wilayah wabah sesegera mungkin, wabah akan meluas secara cepat seperti yang kita saksikan hari ini.
Tidak saja memberi waktu untuk virus bermutasi dan berkembang serta meluas, namun juga berhenti dengan segera, di samping terjaminnya akses setiap orang terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas meski gratis.
Begitu Islam dalam pengaturan yang sempurna dan paripurna, aturan tersebut dapat menyelesaikan probematika yang melanda dunia saat ini. Maka dari itu, sudah saatnya mencampakkan sistem yang tak manusia dan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Wallahu a’lam.