Sepenggal Kisah Yang Sarat Akan Nilai Dan Makna Di Tanah Mekongga

Penulis : Ismoyo Ndosam

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP

Universitas Halu Oleo Kendari

Karya sastra merupakan salah satu dari hasil aktivitas kultural yang memiliki tugas penting dalam membangun aspek-aspek estetis untuk memenuhi kebutuhan rohaniah manusia. Dengan berbagai budaya dan keanekaragaman sastra nusantara cerita rakyat juga memberikan warna tersendiri dari corak daerah masing-masing.

Cerita rakyat tolaki mekongga sebagai salah satu jenis karya sastra penuh dengan muatan pesan dan pemahaman akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Salah satu contohnya cerita rakyat Kongga’aha misalnya, cerita rakyat yang satu ini mengisahkan tentang keganasan seekor burung garuda raksasa yang memangsa binatang dan manusia, yang membuat seluruh manusia yang tinggal di negeri itu di selimuti rasa kecemasan dan ketakutan.

Namun di balik cerita keganasan Kongga’aha ini tersimpan banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa kita jadikan acuan dalam menjalani kehidupan kita sebagai umat manusia. Cerita rakyat Kongga’aha sendiri juga mempunyai nilai tersendiri dalam sejarah peradaban asal usul kerajaan Mekongga, bahkan nama burung garuda ini merupkanan sebuah simbol kebanggaan masyarakat tanah Kolaka dan menjadi salah satu nama etnis yang ada di daratan Sulawesi Tenggara ini yaitu suku Tolaki Mekongga.

Selayang Pandang Suku Tolaki Mekongga

 Suku Tolaki Mekongga atau yang biasa juga disebut suku Tolaki yang berdiam di daerah Mekongga/Kolaka Raya adalah suatu komunitas masyarakat adat yang berdiam di kabupaten Kolaka, kabupaten Kolaka Timur  dan sebagian juga terdapat di kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara, masyarakat adat ini biasa menyebut dirinya to mekongga sebagaimana masyarakat Tolaki yang berdiam di wilayah konawe menyebut diri mereka to konawe.

.To mekongga sendiri merupakan masyarakat Tolaki yang menggunakan dialek tolaki mekongga sebagai bahasa keseharian mereka. Istilah Mekongga, konon berasal dari kata “to mekongga”, yang berarti “to” berarti “orang” dan “mekongga” berarti “pembunuh burung elang raksasa”, jadi kata “to mekongga” berarti “orang yang membunuh burung elang raksasa”. Sedangkan burung elang raksasa dalam bahasa Mekongga adalah “Konggaha’a”. Kabupaten Kolaka tempat kediaman suku Tolaki Mekongga ini disebut juga sebagai “Bumi Mekongga”. Di daerah pemukiman orang Mekongga terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Mekongga, sungai Lamekongga dan teluk Mekongga. Adapun penamaan “Mekongga” pada tempat-tempat ini masih berkaitan erat dengan cerita rakyat Konggaaaha sendiri, yaitu cerita rakyat yang dianggap sakral bagi masyarakat to mekongga.

Dari satu cerita rakyat bahwa asal usul orang To Mekongga, adalah berasal dari 2 kelompok orang dalam waktu yang sama sedang melakukan perjalanan migrasi ke daratan Sulawesi Tenggara. Kelompok pertama bermukim pertama kali di daerah hulu sungai Konaweeha, melalui daerah Mori dan Bungku bagian timur laut Sulawesi. Sedangkan kelompok lain melalui danau Towuti dan terus ke arah selatan.

Kedua kelompok ini bertemu di suatu tempat yang disebut Rahambuu dan tinggal beberapa lama, dan terjadi percampuran etnis setelah melakukan perkawinan campur di antara mereka, sehingga mereka menjadi satu etnis.Setelah sekian lama hidup di tempat ini, kelompok ini terpecah dua dan pergi meninggalkan tempat ini. Kelompok pertama berjalan menyusuri lereng gunung Watukila lalu membelok ke arah barat daya dan sampai di suatu tempat yang mereka namakan Lambo, Laloeha, dan Silea.

Mereka inilah yang kemudian menamakan diri sebagai orang Mekongga yang menempati wilayah Kolaka sekarang.

Sedangkan yang satu kelompok berjalan menyururi sungai Konaweeha dan tiba di suatu tempat yang bernama Andolaki, lalu dari tempat ini, mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu tempat yang luas yang ditumbuhi alang-alang dan tempat ini mereka namakan Unaaha.Tempat ini kemudian menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Konawe yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah Kabupaten di Konawe.

Di tempat ini lah mereka berkembang menyebarkan wilayah pemukiman dengan cara menempati daerah-daerah yang subur untuk berlandang, berburu, beternak dan selanjutnya kelompok ini menamakan diri mereka sebagai orang Tolaki Konawe.

Pendapat lain mengatakan bahwa Suku Tolaki Mekongga berasal dari satu rumpun dengan penduduk di sekitar danau Matana dan danau Mahalona, selanjutnya terjadi migrasi kemudian sampai di Alaaha, kemudian sebagian dari kelompok mereka melewati gunung Watukila atau pegunungan Mekongga, kemudian membelok ke arah barat dan sampai di daerah Unenapo. Toono Dadio selaku penduduk baru belum ada marga maupun sukunya.

Setelah tinggal beberapa lama di daerah ini kemudian terbentuk beberapa wilayah pemukiman kecil, seperti: Alaaha, Rahambuu, Ueesi, Parabua, dan Sanggona, kelompok masyarakat tersebut dikepalai seorang yang disebut Owati (penguasa), daerah kekuasaannya diberi nama Wonua Unenapo.

Sumber lain mengungkapkan bahwa nenek moyang to mekongga bermigrasi dari danau Mahalona kemudian mereka tersebar melalui sungai Lasolo, lalu mereka menetap di daerah Wawolesea Pesisir, tepatnya di Matarape (Matatehae) mereka berkembang sekitar 7 generasi, tetapi akibat datangnya gangguan bajak laut, mereka menyelamatkan diri menyingkir ke daerah lembah aliran sungai Landawe.

 Masyarakat Mekongga pada umumnya memiliki berbagai khasanah budaya yang melekat dalam diri mereka.  Salah satu di anatarnya adalah budaya Kalosara, budaya kalosara sendiri dapat dijumpai dalam berbagai aktivitas kultural masyarakat Tolaki pada umumya semisal dalam acara pernikahan, penyambutan tamu, pelantikan raja-raja maupun dalam mengatasi konflik sosial di masyarakat. Selain kalosara sendiri, masyarakat mekongga mempunyai budaya dan tradisi lain seperti tradisi mosehe wonua dan monahu nda’u maupun ragam sastra daerah dan kesenian daerah.

Masyarakat Mekongga dalam menjaga alam mereka memiliki tata aturan adat sendiri dalam mengelola alam sekitar mereka. Membuka lahan baru dengan cara membakar masih dipraktekan oleh suku Tolaki di daerah Mekongga, tapi dengan tata aturan adat mereka. Pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya dilakukan dengan beberapa tahapan:

  • Monggiikii ando’olo, pemilihan lokasi perladangan
  • Mohoto o wuta, upacara pra monda’u
  • Mosalei, menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran dan lain-lain
  • Monduehi, menebang pepohonan besar
  • Humunu, membakar
  • Mo’enggai, membersihkan sisa-sisa pembakaran
  • Motasu, menanam padi
  • Mosara dan Mete’ia, membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman
  • Mosowi, panen
  • Molonggo, memasukan padi ke dalam lumbung

 Oleh karena itu suku  TolakiMekongga tidak pernah secara kasar membuka lahan, semua telah diatur oleh sistem adat suku Tolaki  Mekongga, sehingga kelestarian alam tetap terjaga. Masyarakat suku  TolakiMekongga pada umumnya hidup pada bidang pertanian.

Mereka menanam padi sebagai tanaman pokok mereka. Selain itu mereka juga menanam sagu, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.Beberapa hewan ternak juga menjadi kegiatan tambahan bagi mereka. Diantara mereka ada juga yang menjadi pedagang dan juga berprofesi sebagai nelayan penangkap ikan. Saat ini banyak juga dari orang To Mekongga yang telah bekerja di sektor swasta dan sektor pemerintahan.

Cerita keganasan Kongga’aha dan cikal bakal terbentuknya Kerajaan Mekongga.

Cerita Kongga’aha merupakan salah satu karya sastra dan warisan budaya yang patut di lestarikan dan diakui keberadaannya. Selain itu, cerita Kongga’aha sendiri merupakan cerita rakyat yang kaya akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung didalamnya, yang sesungguhnya bisa kita jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan kita untuk menjadi pribadi dan masyarakat yang lebih baik.

Adapun cerita rakyat Kongga’aha adalah sebagai berikut.

Dalam bahasa daerah Tolaki Mekongga , Kongga’aha berasal dari kata “kongga” dan “aha”, “kongga” sendiri berasal dari kata “monggaa” yang dalam bahasa daerah Tolaki berarti makan atau memakan, sedangkam “aha” sendiri dalam bahasa daerah Tolaki berarti besar.

Sehingga dapat disimpulkan Kongga’aha berarti pemakan yang besar. Kongga’aha sendiri merupakan burung garuda raksasa yang diyakini sebagai symbol pemangsa yang kejam yang meresahkan  masyarakat Tolaki Mekongga saat itu .

Dalam kisahnya sendiri burung Kongga’aha  merupakan burung yang sangat besar, konon bias membawa terbang binatang seperti kerbau, sapi, dan bahkan manusia sendiri biasa dimangsanya.

Alkisah, seekor burung garuda sering mengganggu masyarakat di negeri Sorume (sekarang bernama Kolaka, Sulawesi Tenggara) dan membuat kacau seisi tobu-tobu atau kampung di negeri itu. Konon jikalau mengangkasa, burung tersebut selalu menimbulkan bayangan besar di bawahnya, setiap hari garuda raksasa tersebut mencuri hewan ternak untuk dimangsa. Burung tersebut tinngal di puncak gunung mekongga yang berada di utara negeri sorume pada saat itu (sekarang wilayah Kolaka Utara).

Para penduduk tobu merasa kuatir, jika hal ini dibiarkan lambat-laun hewan ternak mereka akan habis bahkan mungkin garuda raksasa tersebut suatu saat akan memangsa manusia.

Bersamaan dengan itu, telah datang dua orang bersaudara bernama Larumbalangi dan Wekoila dengan mengendarai sarung sakti yang biasa disebut dengan Toloa Sarungga. Merekalah yang dianggap sebagai peletak terbentuknya kerajaan Mekongga dan Konawe kelak.

Konon mereka turun dari langit, dan mendarat di puncak bukit Kolumba di kampung Balandete. Wekoila pun meneruskan perjalanannya menyusuri sungai Konawe’eha dan sampai di negeri yang bernama Unaaha dan dipersunting oleh Ramandalangi atau Langgai Moriana.

Penduduk pun semakin terusik dengan kekacauan yang dibuat oleh burung Kongga’aha. Akhirnya mereka pun meminta bantuan kepada seorang bernama Wasasi. Wasasi sendiri merupakan saudagar yang datang dari arah selatan sebelum kedatangan Ralumbalangi, kedatangannya sendiri memberi warna tersendiri kepada penghuni tobu saat itu.

Kecakapannya akan pandai bermasyarakat menjadikan ia mudah diterima di masyarakat. Sebelum kerajaan Mekongga terbentuk, ia dijadikan panutan dan sangat dihormati oleh toono motuo di negeri itu karena kebaikannya  serta dengan mengajarkan kepercayaan religi, animisme,  dan  dinamisme sehingga melahirkan kepercayaan kepada sangia hingga melahirkan kebudayaan mekongga sampai saat ini.

Akhirnya Wasasi langsung mengabil tindakan dengan mengumpulkan tujuh toono motuo dari tujuh tobu yang tersebar di negeri mekongga saat itu dengan memukul sebuah Gong atau Tawa-tawano i Wasasi yang konon bisa terdengar di tujuh penjuru tobu dan negeri tersebut.

Wasasi pun menceritakan kepada mereka bahawa ia pernah berjumpa dengan seorang sakti mandraguna yang tinggal di bukit Kolumba bernama Larumbalagi. Akhirnya atas saran Wasasi mereka pun pergi untuk meminta bantuan kepada Larumbalangi.

Sesampainya di bukit Kolumba, mereka para utusan pun menceritakan peristiwa yang menimpa negeri mereka pada Larumbalangi. Larumbalangi pun membantu mereka dengan meminta mereka untuk mengumpulkan bambu dan mencari seorang pemuda sebagai umpannya.

“Untuk mengatasi garuda raksasa itu kalian harus menggunakan strategi yang tepat. Kumpulkanlah oleh kalian bambu tua kemudian buat ujungnya menjadi runcing kemudian olesi dengan racun.Carilah seorang pemberani di negeri kalian untuk melawan garuda raksasa tersebut. Pagari orang itu dengan bambu runcing. Jadi apabila garuda itu menyerang, ia akan tertusuk oleh bambu beracun itu.” kata Larumbalangi.

Para utusan mengucapkan terima kasih atas saran Larumbalangi.akhirnya para toono motuo segera mengadakan sayembara mencari laki-laki pemberani untuk dijadikan umpan melawan garuda raksasa. Apabila ada rakyat jelata mau menjadi umpan, maka ia akan diangkat menjadi bangsawan. Dan jika ia seorang bangsawan, maka ia akan diangkat menjadi pemimpin negeri.

Keesokan harinya, ratusan pendekar baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat jelata telah berkumpul untuk mengikuti sayembara tersebut. Setiap orang menunjukkan kemampuannya di hadapan Wasasi dan para Toono motuo. Akhirnya setelah melewati persaingan ketat, terpilih seorang pemenang bernama Tasahea. Tasahea merupakan rakyat biasa yang berasal dari negeri Loeya.

Wasasi kemudian memerintahkan penduduk untuk membuat bambu runcing beracun kemudian dipasang di Padang Bende. Tasahea kemudian dimasukkan ke dalam kerangkeng yang dikelilingi oleh bambu beracun tersebut dengan bekal tombak emas atau Kasai wulaa dari Larumbalangi. Masyarakat segera meninggalkan Tasahea berdiri sendirian di dalam bambu beracun untuk memancing burung garuda raksasa. Sementara Larumbalangi siap di atas pohon dengan memegang keris saktinya. Penduduk pun menabuh alat bunyi-bunyian untuk mengumpan burung Kongga’aha agar datang.

Sudah beberapa saat Tasahea berdiri sendirian di dalam bambu runcing beracun, namun burung garuda raksasa belum juga kelihatan. Pada siang harinya, tiba-tiba saja cuaca berubah dari cerah menjadi mendung dan lagit sangat mencekam. Pada saat itulah, Tasahea melihat burung garuda itu terbang mendekatinya.

Burung raksasa itu berusaha menyerang Tasahea.Tapi sial, belum sempat menyerang, sayap garuda raksasa tertusuk oleh bambu runcin beracun.Burung tersebut berteriak kesakitan. Larumbalangi pun langsung meloncat dari atas pohon, dengan menancapkannya keris saktinya ke bagian dada garuda raksasa. Burung garuda meronta-ronta kesakitan sampai akhirnya ia berhasil terlepas dari bambu runcing.

Ia segera terbang tinggi namun tidak lama kemudian ia jatuh ke sebuah gunung. Tidak lama kemudian Garuda akhirnya mati karena efek racun bambu runcing.

Penduduk negeri Sorume bersorak-sorak mengelu-elukan Larumbalangi dan Tasahea sebagai pahlawan dan mereka mengadakan pesta selama 7 hari 7 malan yang disebut Monahu nda’u. Namun kegembiraan itu tidak berlangsung lama.Bangkai burung garuda raksasa ternyata menyebarkan wabah penyakit.

Banyak penduduk meninggal setelah muntah-muntah karena wabah ini.Begitu pula tanaman penduduk banyak yang mati diserang ulat.Mengetahui hal ini para toono motuokembali  untuk menemui Larumbalangi.

Sesampainya di bukit kolumba, para utusan menyampaikan permasalahan wabah yang berasal dari bangkai burung garuda ini kepada Larumbalangi.Mendengar hal ini, Larumbalangi segera berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan deras supaya bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulatnya terbawa banjir.

Tuhan mengabulkan doa Larumbalangi. Negeri Sorume dilanda hujan sangat deras selama tujuh hari tujuh malam yang mengakibatkan banjir hebat.Banjir hebat tersebut membawa bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat hanyut terbawa air.

Setelah hujan reda dan banjir surut, wabah penyakit beserta ulat yang melanda negeri Sorume akhirnya hilang. Akhirnya tujuh toono motuo berikrar untuk bersatu menjadi satu kesatuan kerajaan dengan mengangkat Larumbalangi sebagai raja dengan gelar Anakia dan wasasi sebagai Sorombondu atau gelar juru bicara serta Tasahea sebagai Tamalaki atau laki-laki pemberani. Masyarakat bergembira, akhirnya kedamaian bisa hadir di negeri mereka.

Gunung tempat jatuhnya burung garuda raksasa tersebut diberi nama Gunung Mekongga, sementara sungai yang menjadi aliran dari darah Kongga’aha di namakan sungai Lamekongga, serta teluk yang menjadi tempat berlabuh darah dari Kongga’aha dinamakan teluk Mekongga.

Larumbalangi pun mendirikan istana kerajaan Mekongga di Puu’ehu Wundulako. Dalam pemerintahannya Larumbalangi senantiasa memerintahkan rakyatnya , penduduk Negeri Sorume untuk  bekerja dan bertahan hidup.

Atas bimbingan dan petunjuk Larumbalangi mereka sudah bisa bercocok tanam, dan membuka perladangan (Mondau), membentuk perumahan dalam suatu perkampungan (Metobu), mengajarkan cara berburu binatang liar di hutan (Melambu), menangkap ikan (Momaka), serta membuat perabotan rumah tangga, pakaian, alat perang, serta obat-obatan. Larumbalangi memerintah sekitar 60 tahun lamanya dari tahun 1290-1350.

Namun pada suatu hari pada saat masyarakat masih mencintai dan membutuhkan pemerintahaannya, larumbalangi pun menghilang entah kemana rimbanya. Saat itu ia telaah mewariskan kerajaan Mekongga kepada rakyatnya dan membuahkan singgasananya kepada penerusnya.

 Makna nilai kehidupan dalam cerita Kongga’aha

  • Nilai Sosial

Manusia merupakan makhluk yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas sosial. Aktivitas sosial ini menjadikan manusia sebagai makhluk yang tak terlepas dari proses sosialisasi. Kembali kepada kodratnya sebagai manusia, setiap orang pasti memiliki jiwa sosial yang didalamnya terkandung nilai sosial.

Nilai sosial adalah sebuah patokan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya dengan orang lain. Nilai sosial ini diyakini memiliki kemampuan untuk memberi arti dan memberi penghargaan terhadap orang lain, seperti yang terkutip dalam cerita di atas.

“…Wasasi pun menceritakan kepada mereka bahawa ia pernah berjumpa dengan seorang sakti mandraguna yang tinggal di bukit Kolumba bernama Larumbalagi. Akhirnya atas saran Wasasi mereka pun pergi untuk meminta bantuan kepada Larumbalangi.”

Walaupun menjadi seorang panutan masyarakat, tidak seharusnya menjadikan diri kita sebagai satu-satunya orang yang mampu mengatasi sebuah masalah. Sehebat dan sekuat apapun kita tak bisa dipungkiri bahwa kita pasti membutuhkan orang lain disekitar kita.

Dari kutipan cerita di atas kita bisa mengambil pesan sosial yang disampaikan bahwasannya sebagai makhluk social kita tidak bisa menjalani dan mengatasi permasalahan dalam kehidupan kita secara individu saja. Wasasi merupakan orang yang dihormati masyarakat mekongga saat itu. Kendati demikian, kehormatan sebesar apapun yang diberikan padanya tak lantas membuatnya mengambil keputusan sendiri.

Sehingga sebagai seorang makhluk sosial, ia menyadari bahwa ada orang yang lebih hebat dari dia yang mampu membantu mereka untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi.

Begitu pun kita sebagai masyarakat pada umumnya. Hendaknya dalam mengarungi bahtera kehidupan haruslah kita menjadi makhluk sosial yang menyadari segala kekurangan kita ditengah kelebihan kita. Yakin dan percaya sekokoh apapun bangunan yang berdiri, pasti bangunan tersebut memiliki penopang untuk menopang kekokohannya.

  • Nilai Moral

Sebagai seorang manusia kita ditakdirkan memiliki rasa peka terhadap perbuatan kita. Apapun yang kita lakukan secara sengaja maupun tidak disengaja, pasti kita memiliki perasaan untuk bermanusiawi. Perasaan inilah yang menjadikan kita sebagai makhluk yang bermoral yang jelas berbeda dengan makhluk yang di ciptakan Tuhan lainnya.

Nilai moral sesungguhnya merupakan sistem nilai utama antara nilai-nilai yang ada dalam diri manusia dengan nilai-nilai yang ditemukan dalam sebuah era atau bangsa. Nilai moral ini adalah nilai yang menjadikan diri kita berharga, baik, dan bermutu sebagai manusia. Cerita Kongga’aha sendiri merupakan cerita yang banyak mencerminkan nilai-nilai moral didalamnya, seperti pada penggalan cerita berikut.

”… Sesampainya di bukit Kolumba, mereka para utusan pun menceritakan peristiwa yang menimpa negeri mereka pada Larumbalangi. Larumbalangi pun membantu mereka dengan meminta mereka untuk mengumpulkan bambu dan mencari seorang pemuda sebagai umpannya”.

Dari kutipan di atas kita bisa melihat betapa seorang Laraumbalangi dengan segala kemurahan hatinya rela dan ikhlas membantu para penghuni tobu saat itu. Kita sebagai manusia terkadang merasa menjadi angkuh ketika kita memiliki kelibahan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Rasa sombong dan meninggikan diri sendiri di hadapan orang lain, acap kali sering tertuang dalam kehidupan kita. Namun dengan dengan segala kelebihan Larumbalangi tak lantas menjadikan ia menjadi angkuh dan sombong. Ia menyadari bahwa kelebihan ini hanyalah semata-mata karunia dan titipan dari yang maha kuasa, yang sesungguhnya akan mampu ia berbangga hati apabila telah membantu dan menolong sesamanya.

Tak demikian halnya dengan memurahkan hati kita dengan segala kelebihan yang kita miliki, rasa tanggung jawab dan rasa memiliki mampu membuat kita menjadi manusia yang bermoral seutuhnya, seperti pada penggalan cerita di atas.

 “…Atas bimbingan dan petunjuk Larumbalangi mereka sudah bisa bercocok tanam, dan membuka perladangan (Mondau), membentuk perumahan dalam suatu perkampungan (Metobu), mengajarkan cara berburu binatang liar di hutan (Melambu), menangkap ikan (Momaka), serta membuat perabotan rumah tangga, pakaian, alat perang, serta obat-obatan”.

Segala kepercayaan yang diamanatkan oleh orang banyak pada kita, tak lantas membuat kita harus berpaling muka seakan-akan kita tak peduli lagi dengan orang yang memberi kepercayaan tersebut. Sebahai seeorang pemimpin sarat bagi kita untuk memiliki rasa saling memiliki kepada orang-orang yang kita perintah. Larumbalangi merukakan sosok figur pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya dengan membagi pengetahuannya akan berkehidupan kepada rakyat-rakyatnya. Sikap yang seperti inilah yang menjadikan kita sebagai manusia menjadi berharga dan mermoral di hadapan orang.

  • Nilai Religius

Manusia diciptakan tak lepas begitu saja setelah ia menghembuskan nafasnya dimuka bumi untuk pertama kalinya. Adanya manusia di muka bumi, tak lepas dari siapa yang menciptakannya. Sadar akan keimananya serta cintanya terhadap sesama manusia dan alam semesta, menjadikan manusia sadar akan siapa yang menciptakannya dan seisi dunia ini. Sesering apa pun kita berdoa tanpa ada suatu tindakan, mustahil untuk bisa mendapatkan hasil. Begitupun dengan melakukan tindakan tanpa adanya doa dan restu dari sang Khalik maka sia-sialah semua tindakan dan keringat kita.

”…Mendengar hal ini, Larumbalangi segera berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan deras supaya bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulatnya terbawa banjir.”.

Kutipan kisah di atas, mengajarkan bagaimana ketidakberdayaan kita dihadapan sang Khalik. Bagaikan seekor ikan yang berada di daratan. Sebesar apapun karaunia yang di berikan tuhan kepada kita, tak lantas menjadikan kita berdaya dalam mengatasi permasalahan di luar kemampuan manusia ciptaan-Nya.

Sehebat apapun seorang Larumbalangi tak menjadikan ia sehebat dihadapan pencipta-Nya dalam mengatasi masalah yang ditimpa negerinya. Boleh jadi ia menjadi ksatria yang ulung saat itu dengan segala kemampuan yang ia miliki, namun ia menyadari tak semua masalah bisa dihadapinya. Dalam menjalani kehidupan, seharusnya kita selalu memngingat Allah SWT sebagai pencipta kita. Sedetik waktupun yang kita lewati di dunia ini pasti tak lepas dari peranan-Nya. Karena sesungguhnya tiada satu kekuatan pun yang tak datang dari-Nya.

  • Nilai Budaya

Cerita rakyat merupakan salah satu pencerminan budaya bangsa, setiap cerita rakyat pasti memiliki nilai-nilai budaya serta perwujudan kebudayaan yang mengakar hingga kini di dalamnya. Tak satupun kisah yang fenomenal dimasa lalu yang tak menjadi budaya.

Kongga’aha sendiri merupakan salah satu cerita dan kisah masa lalu yang banyak memiliki nilai-nilai budaya. Nilai budaya itu pun mampu mengeksistensikan dirinya sampai saat ini. Mengakar dari asal mula terbentuknya cerita ini, tak menjadikan nilai-nilai budayanya lepas begitu sata dari masyarakat pemiliknya.

Adapun nilai-nilai budaya tersebutt sebagaimana yang tercantum  pada kutipan cerita Kongga’aha berikut ini.

”… mereka mengadakan pesta selama 7 hari 7 malan yang disebut Monahu nda’u …”.

Monahu Nda’u atau dalam bahasa indonesia berarti ”memasak tahunan”, merupakan ungkupan rasa syukur masyarakat mekongga dalam merayakan keberhasilan atas karunia dan anugrah yang diberikan Allah SWT di negeri mereka.  Pada awalnya Monahu Nda’u dilaksanakan masyarakat mekongga saat keberhasilan Larumbalangi dalam membunuh burung Kongga’aha, namun tak lenyap begitu saja, budaya ini masih rutin dilaksanakn masyarakat mekongga tiap tahunnya atas rasa syukur mereka terhadap karunia yang diberikan Allah SWT kepada negerinya.

Selain itu masih banyak nilai-nilai budaya mekongga serta masyarakat suku Tolaki pada umunya yang mengakar dari peristiwa kongga’aha ini. Budaya bermusyawarah contohnya, berawal dari sikap bermasyarakat para Toono Motuo yang selalu mengadakan musyawarah dalam mengambil keputusan saat itu, sampai saat ini pun budaya ini tetap dijaga dan di pertahankan.

Masyarakat mekongga dan masyarakat suku Tolaki pada umumnya, lebih memilih untuk saling bermusyawarah baik dalam menentukan mufakat maupun dalam penyelesaian masalah. Serta masih banyak lagi nilai-nilai budaya yang menjadikan cerita ini menjadi suatu khasanah budaya yang patut untuk diingat.(***)